Senin, 29 November 2010

SECONDHAND SERENADE

Siapa yang menyangka solo project yang dibangun oleh John Joseph Vesely pada tahun 2004 di Menlo Park, California. Sekarang mulai menjelajah dunia? Secondhand Serenade mungkin masih asing di telinga kalangan dewasa, tapi untuk kalangan remaja Secondhand Serenade bagaikan soundtrack wajib kondisi percintaan mereka. Bukan bermaksud berlebihan tapi memang tema cinta adalah hal yang menonjol dari band yang dikomandoi John Vesely tersebut.

John Vesely dengan proyek Secondhand Serenade-nya mulai menebarkan musik yang diusungnya ke seluruh dunia melalui MySpace, beberapa album di awal karirnya direkam dengan format akustik dan baru pada tahun 2008 lewat album “A Twist in My Story” Vesely mulai merekam lagu-lagunya dalam format full band. Dengan album terakhirnya yang direlease di banyak negara di dunia, Secondhand Serenade mulai memperluas lagi pendengarnya dan ternyata ramuan cinta dalam lagunya masih dapat meraup banyak pendengar.

Dari MySpace menuju dunia, Secondhand Serenade telah merampungkan tour mereka ke banyak negara di Amerika dan Eropa. Pertengahan tahun ini tepatnya pada 8 Agustus 2009, Secondhand Serenade akan menyapa penggemar mereka di Indonesia melalui musiknya di festival berdurasi 3 hari besutan Java Festival Production yang bertajuk Gudang Garam Intermusic Java Rockin’land 2009.

John vesely telah merilis dua album studio dibawah nama Secondhand Serenade yang berlabel Warner/Glassnote, Awake di tahun 2007 dan A Twist in My Story ditahun 2008. Debut albumnya menggunakan multitrack recording untuk menciptakan suara berteknologi, di album kedua memakai proper band dan orchestra untuk membuat suara yang lebih mumpuni.

Tracks List di the album A Twist in My Story dan Awake:

1. Like a Knife
2. Fall for You
3. Maybe
4. Stranger
5. Your Call
6. Suppose
7. Twist in My Story
8. Why
9. Stay Close, Don't Go
10. Pretend
11. Goodbye

Awake:
1. Half Alive
2. Broken
3. Vulnerable
4. Your Call
5. Maybe
6. Its Not Over
7. I Hate This Song
8. Awake
9. Take Me With You
10. Let It Roll
11. Last Song Ever
12. End

PIALA DUNIA SEPAK BOLA

Piala Dunia Sepak bola atau sering disingkat sebagai Piala Dunia saja (nama resmi: Piala Dunia FIFA) adalah kompetisi terpenting dalam dunia sepak bola internasional. Diselenggarakan oleh Fédération Internationale de Football Association (Fédération Internationale de Football Association), pengatur cabang olahraga ini, turnamen babak final Piala Dunia adalah ajang olahraga yang paling banyak ditonton di dunia, melebihi bahkan Olimpiade.

Babak final turnamen (merujuk kepada bagian turnamen setelah kualifikasi) ini diselenggarakan setiap empat tahun sekali namun kejuaraan ini mengambil masa dua tahun secara keseluruhan. Lebih dari 160 tim nasional bertarung dalam turnamen kualifikasi regional untuk meraih tempat dalam babak final. Turnamen finalnya kini melibatkan 32 tim (peningkatan dari 24 tim pada tahun 1998) yang berkompetisi selama 4 minggu di negara yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Inovasi yang dilakukan baru-baru ini memperbolehkan lebih dari satu negara menjadi tuan rumah.

Piala Dunia pertama kali diadakan di Uruguay sekitar tahun 1930 dan di menangkan oleh tuan rumah yaitu Uruguay, dan Piala Dunia terakhir diadakan di Afrika Selatan pada 11 Juni-11 Juli 2010 yang dimenangkan oleh Spanyol dan Piala Dunia 2014 akan diadakan di Brasil.

(berbagai sumber)

SEJARAH SEPAK BOLA

Asal muasal sejarah munculnya sepak bola masih mengundang perdebatan. Beberapa dokumen menjelaskan bahwa sepak bola lahir sejak masa Romawi, sebagian lagi menjelaskan sepak bola berasal dari tiongkok. FIFA sebagai badan sepak bola dunia secara resmi menyatakan bahwa sepak bola lahir dari daratan Cina yaitu berawal dari permainan masyarakat Cina abad ke-2 sampai dengan ke-3 SM. Olah raga ini saat itu dikenal dengan sebutan “tsu chu “.

Dalam salah satu dokumen militer menyebutkan, pada tahun 206 SM, pada masa pemerintahan Dinasti Tsin dan Han, masyarakat Cina telah memainkan bola yang disebut tsu chu. Tsu sendiri artinya “menerjang bola dengan kaki”. sedangkan chu, berarti “bola dari kulit dan ada isinya”. Permainan bola saat itu menggunakan bola yang terbuat dari kulit binatang, dengan aturan menendang dan menggiring dan memasukkanya ke sebuah jaring yang dibentangkan diantara dua tiang.

Versi sejarah kuno tentang sepak bola yang lain datangnya dari negeri Jepang, sejak abad ke-8, masyarakat disana telah mengenal permainan bola. Masyarakat disana menyebutnya dengan: Kemari. Sedangkan bola yang dipergunakan adalah kulit kijang namun ditengahnya sudah lubang dan berisi udara.

Menurut Bill Muray, salah seorang sejarahwan sepak bola, dalam bukunya The World Game: A History of Soccer, permainan sepak bola sudah dikenal sejak awal Masehi. Pada saat itu, masyarakat Mesir Kuno sudah mengenal teknik membawa dan menendang bola yang terbuat dari buntalan kain linen.

Sisi sejarah yang lain adalah di Yunani Purba juga mengenal sebuah permainan yang disebut episcuro, tidak lain adalah permainan menggunakan bola. Bukti sejarah ini tergambar pada relief-relief museum yang melukiskan anak muda memegang bola dan memainkannya dengan pahanya.

Sejarah sepak bola modern dan telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak, asal muasalnya dari Inggris, yang dimainkan pada pertengahan abad ke-19 pada sekolah-sekolah. Tahun 1857 beridiri klub sepak bola pertama di dunia, yaitu: Sheffield Football Club. Klub ini adalah asosiasi sekolah yang menekuni permainan sepak bola.

Pada tahun 1863, berdiri asosiasi sepak bola Inggris, yang bernama Football Association (FA). Badan ini yang mengeluarkan peraturan permainan sepak bola, sehingga sepak bola menjadi lebih teratur, terorganisir, dan enak untuk dinikmati penonton.

Selanjutnya tahun 1886 terbentuk lagi badan yang mengeluarkan peraturan sepak bola modern se dunia, yaitu: International Football Association Board (IFAB). IFAB dibentuk oleh FA Inggris dengan Scottish Football Association, Football Association of Wales, dan Irish Football Association di Manchester, Inggris.

Sejarah sepak bola semakin teruji hingga saat ini IFAB merupakan badan yang mengeluarkan berbagai peraturan pada permainan sepak bola, baik tentang teknik permainan, syarat dan tugas wasit, bahkan sampai transfer perpindahan pemain.

(dari berbagai sumber)

Rabu, 24 November 2010

resensi film Harry Potter the deathlty hallows


Sebagai seseorang yang besar bersama Harry Potter, baik novel serial karangan J.K. Rowling maupun rangkaian filmnya, tentu saja saya dipenuhi euforia saat pada akhirnya seri filmnya menyusul sang novel, menemui klimaksnya! Bayangkan, dimulai dari tahun 2001, dengan ‘Harry Potter and the Sorcerer Stone’ sampai akhirnya, 2010, kesabaran ditempa untuk sabar menunggu pengeksekusian bagian pertama dari ‘Harry Potter and the Deadly Hallows’ dapat terealisasi. Bagian pertama? Benar sekali. Kali ini, produser dapat memahami, jika novel-novel di penghujung seri Harry Potter yang tebal-tebal tersebut harus ditangani dengan teliti dan presisi yang pas, agar esensi epik dari novelnya bisa tersampaikan dengan pas, tanpa harus membabat habis sub-plot demi pencapaian efektifitas durasi film.

Setelah kematian Prof. Dumbledore (Michael Gambon) ditangan Severus Snape (Alan Rickman), Hogwarts School of Wizardry seperti memasuki kegelapan yang pekat. Kebangkitan Dark Lord Voldemort (Ralp Fiennes) tinggal menunggu waktu untuk kembali meneror ketenangan dunia sihir. Harry Potter (Daniel Radcliffe) kini menjadi seorang buronan dan harus meninggalkan bangku sekolah, karena kejaran para Death Eater perintah dia-yang-tak-boleh-disebut-namanya.

Tentu saja anggota orde Phoenix yang tersisa tidak membiarkan Voldemort mencapai tujuannya dengan gampang. Sebuah siasat disusun untuk meloloskan Harry dari kediamannya di Privet Drive. Sayang, rencana tidak berjalan mulus. Penyerbuan tiba-tiba dari Death Eater menyebabkan kematian Alastor ‘Mad-Eye’ Moody (Brendan Gleeson). Untunglah Harry akhirnya tiba dengan selamat di Burrow, tempat kediaman keluarga Weasley. Harry yang tidak nyaman dengan keadaan ini kemudian memutuskan untuk pergi diam-diam. Akan tetapi sahabatnya Ron Weasley (Rupert Grint) menahan dirinya, setidaknya sampai selesainya acara pernikahan kakak Ron, Bill (Domnhall Gleeson) dan Fleur Delacour (Clémence Poésy).

Sebelum pesta berlangsung, Rufus Scrimgeour (Bill Nighy), Mentri Sihir mengunjungi Harry dan membacakan wasiat Dumbledore kepadanya. Masing-masing kepada Harry, Ron dan Hermione, Dumbledore mewariskan Snitch pertama yang ditanggkap Harry, Deluminator dan buku dongeng The Tales of Beetle the Bard. Sebenarnya masih ada pedang Gryffindor yang akan diwariskan, namun berhubung pedang tersebut menghilang, maka untuk sementara Harry tidak dapat memilikinya. Meski bingung dengan maksud Dumbledore, namun trio-penyihir muda ini pun menerima pemberian tersebut.

Saat pesta berlangsung, lagi-lagi Death Eater merusak suasana. Untunglah Harry, Ron dan Hermione berhasil melakukan disapparate ke London. Saat bersembunyi di Grimmauld Place, salah satu markas rahasia orde dan bekas kediaman keluarga Sirius Black (Gary Oldman), mereka mengetahui jika salah satu horcrux (wadah dimana Voldemort memecah jiwanya) adalah sebuah liontin, yang kini dimiliki oleh Dolores Umbridge (Imelda Stauton) di Kementrian Sihir.

Tentu saja ini sudah seperti memasuki sarang singa, karena Kementrian sihir telah jatuh ke tangan Voldemort saat Mentri Sihir berhasil dibunuhnya. Namun, dengan siasat dan kecerdikan Hermione, akhirnya mereka berhasil merebut liontin tersebut dari Umbridge.

Yang menjadi masalah, liontin tersebut ternyata susah untuk dihancurkan. Hermione kemudian mengetahui, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pedang Gryffindor.

Dalam upaya pencarian pedang, terjadi friksi antara Harry dan Ron yang menyebabkan mereka terpisah dan perncarian dilanjutkan oleh Harry dan Hermione saja. Kemudian mereka memutuskan untuk mengunjungi Godric’s Hollow, tempat kelahiran Harry. Malah nyaris celaka diserang oleh Nagini, ular peliharaan Voldemort.

Saat beristirahat ditepi sebuah hutan, Harry melihat wujud Patronus dan memutuskan untuk mengikutinya. Patronus tersebut kemudian mengarahkan Harry pada lokasi dimana pedang Gryffindor bersemayam, yaitu didasar sebuah sungai yang membeku. Saat Harry nyaris gagal untuk mendapatkan pedang tersebut, beruntung Ron menemukannya. Ternyata Deluminator warisan Dumbledore yang membantu Ron menemukan Harry dan Hermione.

Lantas trio ini memutuskan untuk menemui Xenophilus Lovegood (Rhys Ivans), ayah teman mereka, Luna (Evanna Lynch). Dari Lovegood mereka mengetahui tentang 3 Relikui Kematian (Deadly Hallow): tongkat Elder, Jubah Gaib dan Batu Kebangkitan. Tiga benda ini mungkin bisa digunakan untuk mengalahkan Voldemort. Lagi-lagi Death Eater menyerang. Rupanya Lovegood menginformasikan keberadaan mereka, karena Luna telah diculik. Trio tersebut berhasil meloloskan diri, namun malangnya malah bertemu dengan para Snatcher dan tertangkap. Kemudian oleh para Snatcher, alih-alih dibawa ke Kementrian Sihir, Harry, Ron dan Hermione malah dibawa ke kediaman Malfoy. Akhirnya ketiganya pun jatuh ketangan Bellastrix LaStrange (Helena Bonham Carter) yang kejam dan haus darah.

Well, Dobby (disulih suara oleh Toby Jones) kembali dan kali ini dengan kepercayaan diri yang besar. Sang Peri Rumah yang sangat mengidolakan Harry Potter ini terbukti sangat berguna dalam membantu perjuangan Harry dan teman-teman. Tapi, bukan hanya itu kabar gembiranya. Kesempatan bagi Steven Kloves untuk mengeksplorasi skrip yang lebih setia kepada novel menyebabkan film yang pasti akan disukai oleh penikmati seri bukunya. Tentu saja keputusan untuk membagi novelnya menjadi dua bagian adalah sesuatu yang cukup bijaksana mengingat judul ini merupakan klimaks dari saga penyihir Harry Potter ini.

Pengarahan kembali jatuh ketangan David Yates. Bagi yang telah menyaksikan ‘Harry Potter and the Order of Phoenix’ (2007) dan ‘Harry Potter and Half-Blood Prince’ (2009) mungkin familiar dengan gaya narasinya, lebih memberi penekanan pada atmosfir dan elaborasi proposisi dalam plot ketimbang aksi-laga. Porsi untuk itu ada dan dieksekusi dengan intentitas yang cukup tinggi. Namun, sekali lagi film bertumpu pada drama. Drama yang kelam dan terkadang bercampur dalam kengerian ala horor yang mencekam.

Dan itulah yang mungkin bagi sebagian orang, ritme film menjadi terlalu naik-turun dan cenderung melelahkan. Tapi, bagi saya pribadi, film ini cukup lancar bercerita dan tidak menjemukan sama sekali. Konsep road trip yang diusung cerita sendiri kemudian mengijinkan kita untuk dapat menikmati lanskap Inggris yang luar biasa dalam memanjakan mata. Apalagi musik iringan dari Alexandre Desplat (juga menggarap musik pengiring untuk ‘Twilight Saga: New Moon’‘) merasuk dengan subtil dan indah.

Dan Daniel Radcliffe, Rupert Grint serta Emma Watson (damn, she looks so gorgeous in the film), dimana sembilan tahun lalu kita menemui mereka dalam sosok anak-anak, kini sesuai bergulirnya waktu telah bertransformasi menjadi sosok-sosok dewasa muda yang menawan. Tentu saja bertahun-tahun memerankan karakter yang sama menyebabkan penguasaan materi yang tidak usah dipertanyakan lagi. Mereka terlihat lebur dengan karakter-karaker ikonik mereka dan meniupkan kedewasaan yang diperlukan.

Lebih dewasa? Yah, tentu saja alur mengikuti perkembangan usia karakter-karakternya (juga para pembacanya) yang kemudian menampilkan perbagai situasi yang memang lebih kompleks dan gelap. Akan tetapi, bukankah sebenarnya karakter Harry Potter ini sendiri telah ditempa pengalaman sehingga menjadi lebih dewasa semenjak dari kecil? Oleh karenanya menurut saya tidak ada perbedaan atau perkembangan yang signifikan terhadap karakterisasinya. Yang berbeda adalah pemberian atribut serta aksentuasi pada detil-detil plot, seperti perkembangan hubungan Harry bersama Hermione dan Ron.

Akhir yang menggantung pada beberapa film memang menyebalkan, namun untunglah disini Yates memberikan klimaks yang cukup adil, baik terhadap penontonnya maupun cerita film itu sendiri. Sebuah keputusan yang cukup cerdik. Tidak ada resolusi, akan tetapi memberikan pijakan yang cukup solid pada bagian keduanya nanti.

‘Harry Potter and the Deadly Hallows part 1′ memang hanyalah pengantar. Pembukaan untuk epik yang tersimpan dibagian keduanya. Sebuah bagian dimana konflik akan terselesaikan. Hanya saja, tampaknya kita harus sedikit bersabar hingga Juli 2011 untuk kemudian dapat menyaksikan film ini secara utuh dan melengkapi seri ini. Sesuatu yang benar-benar membuat saya tidak sabar menunggu sebenarnya.

Review

Good Point - bagi saya pribadi, film ini cukup lancar bercerita dan tidak menjemukan sama sekali.
- Sebuah keputusan yang cukup cerdik. Tidak ada resolusi, akan tetapi memberikan pijakan yang cukup solid pada bagian keduanya nanti.
- Tentu saja bertahun-tahun memerankan karakter yang sama menyebabkan penguasaan materi yang tidak usah dipertanyakan lagi. Mereka terlihat lebur dengan karakter-karaker ikonik mereka dan meniupkan kedewasaan yang diperlukan.
Bad Point - Dan itulah yang mungkin bagi sebagian orang, ritme film menjadi terlalu naik-turun dan cenderung melelahkan.

Selasa, 16 November 2010

PERUBAHAN KATA-KATA BAKU YANG TERBARU YANG SERING DIGUNAKAN DALAM PENULISAN DAN PERCAKAPAN

Bahasa Indonesia mempunyai sebuah aturan yang baku dalam pengguanaanya, namun dalam prakteknya sering terjadi penyimpangan dari aturan yang baku tersebut. Seperti dalam pengucapan dan penulisan yang terkadang sangat jauh dari aturan yang baik dan benar.Bahasa memang merupakan salah satu alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat

Jika kita berbicara masalah baku dan tidak baku dalam bahasa Indonesia, tentunya hal tersebut ada kaitannya dengan standarisasi bahasa Indonesia. Prof. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa standarisasi bahasa atau pemabakuan bahasa ialah penetapan norma-norma atau aturan-aturan bahasa. Berdasarkan bahsa yang dipakai oleh masyarakat pemakai bahasa, ditetapkan pola-pola mana yang berlaku pada bahasa itu. Pola yang dipilih itulah yang dijadikan acuan. Jka kita akan membentuk kata atau menyusun kalimat, tulisan itu harus mengacu kepada pola bahasa yang sudah ditetapkan itu. Standarisasi bahasa dapat dilakukan terhadap ejaan, ucapan atau lafal, perbendaharaan kata, istilah, dan tata bahasa.

Perkembangan bahasa Indonesia begitu pesat sehingga hal itu menyebabkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia kadang-kadang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pemakai bahasa Indonesia, seperti wartawan kadang-kadang tidak memedulikan kaidah k, p, t, s dalam menuangkan tulisannya di media-media cetak. Banyak ditemukan ketidakseragaman dalam penulisan setiap kata yang dimulai dengan fonem p baik yang bersuku kata dua maupun tiga jika diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) fonem pertamanya ada yang melebur/luluh (sesuai dengan kaidah bahsa Indonesia) ada juga yang tidak melebur. Ketidakseragaman tersebut tampak dalam media cetak: surat kabar, tabloid, dan majalah. Contohnya, mengapa kata pengaruh, social, peduli, perkosa, popular, komunikasi, pesona, perhati, jika diberi awalan me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i atau meng-, ada yang melebur/luluh menjadi memengaruhi, menyosialkan, memedulikan, memerkosa, memopulerkan, mengomunikasikan, memesona, dan memerhatikan tetapi ada juga yang tidak melebur/luluh menjadi mempengaruhi, mensosialkan, mempedulikan, memperkosa, mempopulerkan, mengkomunikasikan, mempesona dan memperhatikan?

Padahal wartawan khususnya atau pemakai bahasa Indonesia umumnya sudah konsisten menggunakan kata bersuku kata dua atau tiga yang dimulai dengan fonem k, p, t, s jika diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) menjadi luluh. Hal tersebut tampak pada kata: kerja, potong, pentas, sapu, tutup, tenggara, taat, selimut, setuju, selinap, selingkar, selenggara, sentralisasi, sesuai, setrika, siaga, pelihara, periksa, sunting, sempurna, teliti, tengadah, seruduk yang diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) menjadi mengerjakan, memotong, mementaskan, menyapu, menutup, menengarai, manaati, menyelimuti, menyetujui, menyelinap, menyelingar, menyelenggarakan, menyentralisasi, menyesuaikan, menyetrika, menyiagakan, memelihara, memeriksa, menyunting, menyempurnakan, meneliti, menengadah, menyeruduk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, tampak jelas bahwa wartawan/pemakai bahsa Indonesia lebih menaati kaidah k, p, t, s untuk setiap kata yang berkuku kata dua dibandingkan dengan bersuku kata tiga atau lebih. Tampaknya kita sulit membuat aturan baru, yakni kaidah k, p, t, s hanya berlaku untuk setiap kata yang bersuku kata dua. Hal itu disebabkan oleh kita sudah terlanjur menggunakan kata menyelimuti, menyelenggarakan, menyesuaikan, menyetrika, memeriksa, menyelinap, menyunting. Dalam hal ini, perlu ada standarisasi yang jelas untuk kaidah k, p, t, s.

Sehubungan dengan hal terebut, pantas saja sejumlah mahasiswa mengelar aksi unjuk rasa dengan memegang sebuah poster bertuliskan “Aku cinta bahasa Indonesia” di sekitar Bundaran HI Jakarta beberapa waktu lalu. Karena tanpa ada standarisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar, justru hal itu membuat pengimbuhan kata Indonesia dan kata serapan menjadi tidak seragam dan gamang. Akibatnya, hal itu bisa membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia.

Jadi, siapkah kita berpegang pada standarisasi untuk fonem k, p, t, s. Hal itu tampaknya bergantung pada kesiapan dan kedisiplinan masyarakat pemakai bahasa dalam menaati kaidah-kaidah yang sudah ada.
inilah duniaku... © 2008 Template by:
SkinCorner