Selasa, 16 November 2010

PERUBAHAN KATA-KATA BAKU YANG TERBARU YANG SERING DIGUNAKAN DALAM PENULISAN DAN PERCAKAPAN

Bahasa Indonesia mempunyai sebuah aturan yang baku dalam pengguanaanya, namun dalam prakteknya sering terjadi penyimpangan dari aturan yang baku tersebut. Seperti dalam pengucapan dan penulisan yang terkadang sangat jauh dari aturan yang baik dan benar.Bahasa memang merupakan salah satu alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat

Jika kita berbicara masalah baku dan tidak baku dalam bahasa Indonesia, tentunya hal tersebut ada kaitannya dengan standarisasi bahasa Indonesia. Prof. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa standarisasi bahasa atau pemabakuan bahasa ialah penetapan norma-norma atau aturan-aturan bahasa. Berdasarkan bahsa yang dipakai oleh masyarakat pemakai bahasa, ditetapkan pola-pola mana yang berlaku pada bahasa itu. Pola yang dipilih itulah yang dijadikan acuan. Jka kita akan membentuk kata atau menyusun kalimat, tulisan itu harus mengacu kepada pola bahasa yang sudah ditetapkan itu. Standarisasi bahasa dapat dilakukan terhadap ejaan, ucapan atau lafal, perbendaharaan kata, istilah, dan tata bahasa.

Perkembangan bahasa Indonesia begitu pesat sehingga hal itu menyebabkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia kadang-kadang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pemakai bahasa Indonesia, seperti wartawan kadang-kadang tidak memedulikan kaidah k, p, t, s dalam menuangkan tulisannya di media-media cetak. Banyak ditemukan ketidakseragaman dalam penulisan setiap kata yang dimulai dengan fonem p baik yang bersuku kata dua maupun tiga jika diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) fonem pertamanya ada yang melebur/luluh (sesuai dengan kaidah bahsa Indonesia) ada juga yang tidak melebur. Ketidakseragaman tersebut tampak dalam media cetak: surat kabar, tabloid, dan majalah. Contohnya, mengapa kata pengaruh, social, peduli, perkosa, popular, komunikasi, pesona, perhati, jika diberi awalan me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i atau meng-, ada yang melebur/luluh menjadi memengaruhi, menyosialkan, memedulikan, memerkosa, memopulerkan, mengomunikasikan, memesona, dan memerhatikan tetapi ada juga yang tidak melebur/luluh menjadi mempengaruhi, mensosialkan, mempedulikan, memperkosa, mempopulerkan, mengkomunikasikan, mempesona dan memperhatikan?

Padahal wartawan khususnya atau pemakai bahasa Indonesia umumnya sudah konsisten menggunakan kata bersuku kata dua atau tiga yang dimulai dengan fonem k, p, t, s jika diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) menjadi luluh. Hal tersebut tampak pada kata: kerja, potong, pentas, sapu, tutup, tenggara, taat, selimut, setuju, selinap, selingkar, selenggara, sentralisasi, sesuai, setrika, siaga, pelihara, periksa, sunting, sempurna, teliti, tengadah, seruduk yang diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) menjadi mengerjakan, memotong, mementaskan, menyapu, menutup, menengarai, manaati, menyelimuti, menyetujui, menyelinap, menyelingar, menyelenggarakan, menyentralisasi, menyesuaikan, menyetrika, menyiagakan, memelihara, memeriksa, menyunting, menyempurnakan, meneliti, menengadah, menyeruduk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, tampak jelas bahwa wartawan/pemakai bahsa Indonesia lebih menaati kaidah k, p, t, s untuk setiap kata yang berkuku kata dua dibandingkan dengan bersuku kata tiga atau lebih. Tampaknya kita sulit membuat aturan baru, yakni kaidah k, p, t, s hanya berlaku untuk setiap kata yang bersuku kata dua. Hal itu disebabkan oleh kita sudah terlanjur menggunakan kata menyelimuti, menyelenggarakan, menyesuaikan, menyetrika, memeriksa, menyelinap, menyunting. Dalam hal ini, perlu ada standarisasi yang jelas untuk kaidah k, p, t, s.

Sehubungan dengan hal terebut, pantas saja sejumlah mahasiswa mengelar aksi unjuk rasa dengan memegang sebuah poster bertuliskan “Aku cinta bahasa Indonesia” di sekitar Bundaran HI Jakarta beberapa waktu lalu. Karena tanpa ada standarisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar, justru hal itu membuat pengimbuhan kata Indonesia dan kata serapan menjadi tidak seragam dan gamang. Akibatnya, hal itu bisa membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia.

Jadi, siapkah kita berpegang pada standarisasi untuk fonem k, p, t, s. Hal itu tampaknya bergantung pada kesiapan dan kedisiplinan masyarakat pemakai bahasa dalam menaati kaidah-kaidah yang sudah ada.

0 komentar:

Posting Komentar

inilah duniaku... © 2008 Template by:
SkinCorner