Rabu, 24 November 2010

resensi film Harry Potter the deathlty hallows


Sebagai seseorang yang besar bersama Harry Potter, baik novel serial karangan J.K. Rowling maupun rangkaian filmnya, tentu saja saya dipenuhi euforia saat pada akhirnya seri filmnya menyusul sang novel, menemui klimaksnya! Bayangkan, dimulai dari tahun 2001, dengan ‘Harry Potter and the Sorcerer Stone’ sampai akhirnya, 2010, kesabaran ditempa untuk sabar menunggu pengeksekusian bagian pertama dari ‘Harry Potter and the Deadly Hallows’ dapat terealisasi. Bagian pertama? Benar sekali. Kali ini, produser dapat memahami, jika novel-novel di penghujung seri Harry Potter yang tebal-tebal tersebut harus ditangani dengan teliti dan presisi yang pas, agar esensi epik dari novelnya bisa tersampaikan dengan pas, tanpa harus membabat habis sub-plot demi pencapaian efektifitas durasi film.

Setelah kematian Prof. Dumbledore (Michael Gambon) ditangan Severus Snape (Alan Rickman), Hogwarts School of Wizardry seperti memasuki kegelapan yang pekat. Kebangkitan Dark Lord Voldemort (Ralp Fiennes) tinggal menunggu waktu untuk kembali meneror ketenangan dunia sihir. Harry Potter (Daniel Radcliffe) kini menjadi seorang buronan dan harus meninggalkan bangku sekolah, karena kejaran para Death Eater perintah dia-yang-tak-boleh-disebut-namanya.

Tentu saja anggota orde Phoenix yang tersisa tidak membiarkan Voldemort mencapai tujuannya dengan gampang. Sebuah siasat disusun untuk meloloskan Harry dari kediamannya di Privet Drive. Sayang, rencana tidak berjalan mulus. Penyerbuan tiba-tiba dari Death Eater menyebabkan kematian Alastor ‘Mad-Eye’ Moody (Brendan Gleeson). Untunglah Harry akhirnya tiba dengan selamat di Burrow, tempat kediaman keluarga Weasley. Harry yang tidak nyaman dengan keadaan ini kemudian memutuskan untuk pergi diam-diam. Akan tetapi sahabatnya Ron Weasley (Rupert Grint) menahan dirinya, setidaknya sampai selesainya acara pernikahan kakak Ron, Bill (Domnhall Gleeson) dan Fleur Delacour (Clémence Poésy).

Sebelum pesta berlangsung, Rufus Scrimgeour (Bill Nighy), Mentri Sihir mengunjungi Harry dan membacakan wasiat Dumbledore kepadanya. Masing-masing kepada Harry, Ron dan Hermione, Dumbledore mewariskan Snitch pertama yang ditanggkap Harry, Deluminator dan buku dongeng The Tales of Beetle the Bard. Sebenarnya masih ada pedang Gryffindor yang akan diwariskan, namun berhubung pedang tersebut menghilang, maka untuk sementara Harry tidak dapat memilikinya. Meski bingung dengan maksud Dumbledore, namun trio-penyihir muda ini pun menerima pemberian tersebut.

Saat pesta berlangsung, lagi-lagi Death Eater merusak suasana. Untunglah Harry, Ron dan Hermione berhasil melakukan disapparate ke London. Saat bersembunyi di Grimmauld Place, salah satu markas rahasia orde dan bekas kediaman keluarga Sirius Black (Gary Oldman), mereka mengetahui jika salah satu horcrux (wadah dimana Voldemort memecah jiwanya) adalah sebuah liontin, yang kini dimiliki oleh Dolores Umbridge (Imelda Stauton) di Kementrian Sihir.

Tentu saja ini sudah seperti memasuki sarang singa, karena Kementrian sihir telah jatuh ke tangan Voldemort saat Mentri Sihir berhasil dibunuhnya. Namun, dengan siasat dan kecerdikan Hermione, akhirnya mereka berhasil merebut liontin tersebut dari Umbridge.

Yang menjadi masalah, liontin tersebut ternyata susah untuk dihancurkan. Hermione kemudian mengetahui, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pedang Gryffindor.

Dalam upaya pencarian pedang, terjadi friksi antara Harry dan Ron yang menyebabkan mereka terpisah dan perncarian dilanjutkan oleh Harry dan Hermione saja. Kemudian mereka memutuskan untuk mengunjungi Godric’s Hollow, tempat kelahiran Harry. Malah nyaris celaka diserang oleh Nagini, ular peliharaan Voldemort.

Saat beristirahat ditepi sebuah hutan, Harry melihat wujud Patronus dan memutuskan untuk mengikutinya. Patronus tersebut kemudian mengarahkan Harry pada lokasi dimana pedang Gryffindor bersemayam, yaitu didasar sebuah sungai yang membeku. Saat Harry nyaris gagal untuk mendapatkan pedang tersebut, beruntung Ron menemukannya. Ternyata Deluminator warisan Dumbledore yang membantu Ron menemukan Harry dan Hermione.

Lantas trio ini memutuskan untuk menemui Xenophilus Lovegood (Rhys Ivans), ayah teman mereka, Luna (Evanna Lynch). Dari Lovegood mereka mengetahui tentang 3 Relikui Kematian (Deadly Hallow): tongkat Elder, Jubah Gaib dan Batu Kebangkitan. Tiga benda ini mungkin bisa digunakan untuk mengalahkan Voldemort. Lagi-lagi Death Eater menyerang. Rupanya Lovegood menginformasikan keberadaan mereka, karena Luna telah diculik. Trio tersebut berhasil meloloskan diri, namun malangnya malah bertemu dengan para Snatcher dan tertangkap. Kemudian oleh para Snatcher, alih-alih dibawa ke Kementrian Sihir, Harry, Ron dan Hermione malah dibawa ke kediaman Malfoy. Akhirnya ketiganya pun jatuh ketangan Bellastrix LaStrange (Helena Bonham Carter) yang kejam dan haus darah.

Well, Dobby (disulih suara oleh Toby Jones) kembali dan kali ini dengan kepercayaan diri yang besar. Sang Peri Rumah yang sangat mengidolakan Harry Potter ini terbukti sangat berguna dalam membantu perjuangan Harry dan teman-teman. Tapi, bukan hanya itu kabar gembiranya. Kesempatan bagi Steven Kloves untuk mengeksplorasi skrip yang lebih setia kepada novel menyebabkan film yang pasti akan disukai oleh penikmati seri bukunya. Tentu saja keputusan untuk membagi novelnya menjadi dua bagian adalah sesuatu yang cukup bijaksana mengingat judul ini merupakan klimaks dari saga penyihir Harry Potter ini.

Pengarahan kembali jatuh ketangan David Yates. Bagi yang telah menyaksikan ‘Harry Potter and the Order of Phoenix’ (2007) dan ‘Harry Potter and Half-Blood Prince’ (2009) mungkin familiar dengan gaya narasinya, lebih memberi penekanan pada atmosfir dan elaborasi proposisi dalam plot ketimbang aksi-laga. Porsi untuk itu ada dan dieksekusi dengan intentitas yang cukup tinggi. Namun, sekali lagi film bertumpu pada drama. Drama yang kelam dan terkadang bercampur dalam kengerian ala horor yang mencekam.

Dan itulah yang mungkin bagi sebagian orang, ritme film menjadi terlalu naik-turun dan cenderung melelahkan. Tapi, bagi saya pribadi, film ini cukup lancar bercerita dan tidak menjemukan sama sekali. Konsep road trip yang diusung cerita sendiri kemudian mengijinkan kita untuk dapat menikmati lanskap Inggris yang luar biasa dalam memanjakan mata. Apalagi musik iringan dari Alexandre Desplat (juga menggarap musik pengiring untuk ‘Twilight Saga: New Moon’‘) merasuk dengan subtil dan indah.

Dan Daniel Radcliffe, Rupert Grint serta Emma Watson (damn, she looks so gorgeous in the film), dimana sembilan tahun lalu kita menemui mereka dalam sosok anak-anak, kini sesuai bergulirnya waktu telah bertransformasi menjadi sosok-sosok dewasa muda yang menawan. Tentu saja bertahun-tahun memerankan karakter yang sama menyebabkan penguasaan materi yang tidak usah dipertanyakan lagi. Mereka terlihat lebur dengan karakter-karaker ikonik mereka dan meniupkan kedewasaan yang diperlukan.

Lebih dewasa? Yah, tentu saja alur mengikuti perkembangan usia karakter-karakternya (juga para pembacanya) yang kemudian menampilkan perbagai situasi yang memang lebih kompleks dan gelap. Akan tetapi, bukankah sebenarnya karakter Harry Potter ini sendiri telah ditempa pengalaman sehingga menjadi lebih dewasa semenjak dari kecil? Oleh karenanya menurut saya tidak ada perbedaan atau perkembangan yang signifikan terhadap karakterisasinya. Yang berbeda adalah pemberian atribut serta aksentuasi pada detil-detil plot, seperti perkembangan hubungan Harry bersama Hermione dan Ron.

Akhir yang menggantung pada beberapa film memang menyebalkan, namun untunglah disini Yates memberikan klimaks yang cukup adil, baik terhadap penontonnya maupun cerita film itu sendiri. Sebuah keputusan yang cukup cerdik. Tidak ada resolusi, akan tetapi memberikan pijakan yang cukup solid pada bagian keduanya nanti.

‘Harry Potter and the Deadly Hallows part 1′ memang hanyalah pengantar. Pembukaan untuk epik yang tersimpan dibagian keduanya. Sebuah bagian dimana konflik akan terselesaikan. Hanya saja, tampaknya kita harus sedikit bersabar hingga Juli 2011 untuk kemudian dapat menyaksikan film ini secara utuh dan melengkapi seri ini. Sesuatu yang benar-benar membuat saya tidak sabar menunggu sebenarnya.

Review

Good Point - bagi saya pribadi, film ini cukup lancar bercerita dan tidak menjemukan sama sekali.
- Sebuah keputusan yang cukup cerdik. Tidak ada resolusi, akan tetapi memberikan pijakan yang cukup solid pada bagian keduanya nanti.
- Tentu saja bertahun-tahun memerankan karakter yang sama menyebabkan penguasaan materi yang tidak usah dipertanyakan lagi. Mereka terlihat lebur dengan karakter-karaker ikonik mereka dan meniupkan kedewasaan yang diperlukan.
Bad Point - Dan itulah yang mungkin bagi sebagian orang, ritme film menjadi terlalu naik-turun dan cenderung melelahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

inilah duniaku... © 2008 Template by:
SkinCorner